Halaman

Kamis, 29 November 2012

PERBANDINGAN TAFSIR AYAT-AYAT BOROS DALAM AL-QUR’AN


PERBANDINGAN TAFSIR AYAT-AYAT BOROS DALAM AL-QUR’AN





Pendahuluan
Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt. yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang lurus dan benar. Al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril as. diturunkan secara bertahap selama 23 tahun di Mekkah dan Madinah.

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an diturunkan berdasarkan kejadian yang terjadi pada masa nabi saw. karena Al-Qur’an adalah tuntunan bagi umat Islam, apabila ada kejadian baru atau ada sebuah pertanyaan agama yang ditanyakan kepada rasulullah saw. dan belum ada ayat sebelumnya yang bertepatan dengan ayat tersebut maka rasulullah saw. akan menunggu hingga turunnya wahyu dan menjelaskan tentang jawaban yang ditanyakan, dan inilah yang disebut dengan asbab an-nuzul.
Akan tetapi tidak berarti semua ayat memiliki asbab an-nuzul, banyak ayat dalam Al-Qur’an yang diturunkan tanpa asbab an-nuzul, dan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab oleh karena itu pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an pun sangat lekat dengan jalan untuk memahaminya.
Kebanyakan kata atau kalimat yang digunakan dalam Al-Qur’an menggunakan kata yang mujmal, atau lafdzul musytarok makna (lafadz yang memiliki beberapa makna), ini disebabkan Al-Qur’an sebagai penuntun umat Islam untuk selamanya hingga akhir jaman, sehingga lafadz yang memiliki banyak arti itu bersifat elastis dan dapat di gunakan sebagai dalil untuk permasalahan kontemporer sekalipun yang belum ada pada jaman nabi saw.
Dalam perkembangannya tafsir memiliki banyak corak penafsiran, mulai yang bercorak bahasa, fikih, bahkan secara filosofis dan tasawuf pun ada. Ini disebabkan banyaknya mufassir (ahli tafsir) yang menafsirkan Al-Qur’an dan mereka mempunyai gaya dan cara yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai bidang yang mereka kuasai atau diinginkan.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengadakan perbandingan antara tafsir yang diambil dari tafsir-tafsir aimmah tafasir seperti Ahkam Al-Qur’an karangan Imam Al-Jashosh, Al-Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an karangan Imam Al-Qurthubi dan yang lainnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan boros.
Rumusan Masalah:
adapun rumusan yang ditulis dalam makalah ini adalah:
1.     Bagaimana praktek boros?
2.     Bagaimana para mufassir menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan boros secara bahasa dan hukum?
3.     Apa kesimpulan yang didapat dari tafsir para mufassir?
Tujuan Pembahasan:
1.     Menelaah tafsiran para mufassir pada ayat-ayat yang berkaitan dengan boros.
2.     Mendapatkan kesimpulan makna dan hukum dari perbandingan tafsir para mufassir.


Boros pada masa Rasulullah saw., dan boros pada masa modern
Boros adalah termasuk salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh manusia, boros tidak hanya ada pada jaman sekarang, akan tetapi sifat boros sudah ada sejak jaman dahulu bahkan pada jaman nabi saw. ada suatu riwayat dari Ibnu Umar ra. Beliau berkata suatu hari Rasulullah saw. bertemu dengan sa’ad yang sedang berwudhu’, lalu beliau bersabda : “kenapa engkau boros wahai sa’ad?” Maka sa’ad pun menjawab : “apakah bisa dikatakan boros dalam berwudhu’?” Rasulullah saw. menjawab : “ya, walaupun kamu sedang berada di sungai yang mengalir”.[1]
Hal-hal yang terlihat sepele seperti di atas saja sudah menjadi perhatian Rasulullah saw. pada masa beliau, padahal wudhu’ termasuk pekerjaan yang baik, lalu pada jaman sekarang bagaimana sifat boros yang terjadi?
Berikut ini adalah praktek boros pada jaman sekarang yang mungkin sering kita lakukan
1. Gemar beli produk yang mahal-mahal karena gengsi
2. Suka belanja dengan kartu kredit tanpa melihat daya beli
3. Boros dalam mengunakan air bersih dan air minum
4. Pengeluaran lebih besar dari penghasilan (kecuali penghasilan rendah)
5. Suka menyisakan dan membuang-buang makanan
6. Senang membeli barang yang tidak perlu
7. Boros listrik, air, pulsa telepon, bensin, gas, dan lain-lain
8. Memiliki hobi yang mahal biayanya[2]

Perbandingan Tafsir dalam ayat yang berkaitan dengan boros
Ayat pertama: Allah swt. berfirman:
و ءات ذاالقربي حقه والمسكين و ابن السبيل  و لا تبذر تبذيرا . إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين و كان الشيطان لربه كفورا. {الإسراء 27-26 }
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya”. (Q.S.: Al-Isra’ ayat: 26-27)  
Asbab An-Nuzul:
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika turun ayat ini (Q.S. 17 Al-Isra’:26) Rasulllah memberikan tanah di Fadak[3] kepada Fathimah. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, dan yang lain-lain, yang bersumber dari Abu Sa’d Al-Khudri. Demikian pula Ibnu Marduwaih meriwayatkan hadist seperti ini yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Akan tetapi menurut Ibnu Katsir, riwayat ini membingungkan, karena dengan riwayat ini seolah-olah ayat itu Madaniyyah, padahal yang masyhur Makkiyyah.[4]
Pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini ditujukan secara umum kepada umat muslim untuk mengasih sayangi para kerabat, kesimpulan ini diambil dengan dalil bahwa ayat ini adalah sambungan dari ayat sebelumnya yang berkaitan dengan Birrul walidain , maka penafsirannya setelah kamu memberi hak orangtuamu lalu mulailah dari kerabat dekatmu.[5]
Perbandingan tafsir secara bahasa:
و لا تبذر تبذيرا . إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”
Dalam tafsir wajiz karangan Dr. Wahbah Zuhaili disebutkan:
ولا تنفق المال في غير موضعه شرعا, وهو مجاوزة الحد المستحسن شرعا فى الإنفاق من الحلال, والإنفاق في غير الحق.26
إن المبذرين قرناء الشيطان، لأن الإسراف من الإغراء الشيطان.[6]
dan janganlah kamu membelanjakan harta tidak pada tempat yang ditentukan oleh syariah, yaitu melampaui batas yang ditetapkan oleh syariat dalam membelanjakan yang halal, ataupun membelanjakan pada sesuatu yang tidak pada kebenaran. (26) karena sesungguhnya orang-orang yang melakukan pemborosan adalah qorin-qorin (teman-teman) dari syaitan, karena pemborosan adalah dari perbuatan syaitan”.
Dalam tafsir Ma’ani Al-Qur’an Wa I’robuhu disebutkan sebagai berikut:
{ و لا تبذر تبذيرا}
معناه : لا تسرف، و قيل : التبذير النفقة في غير طاعة الله، و قيل كانت الجاهلية تنحر الإبل و تبذر الأموال، تطلب بذالك الفخر و السمعة و تذكر ذالك في أشعارها، فأمر الله عز و جل بالنفقة في وجوههما فيما يقرب منه ويزلف عنده.
{إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين}
أي يفعلون ما يسولهم الشيطان.[7]
“Arti dari walaa tubadzir tabdziron adalah janganlah kamu boros, dan dikatakan : yang disebut boros adalah membelanjakan (harta) di selain jalan ketaatan kepada Allah, dan dikatakan juga bahwa orang Jahiliyah pada jaman dahulu suka menyembelih unta dan membuang-buang harta, mereka melakukan itu untuk kebanggaan dan rasa sombong dan perkara ini banyak disebutkan dalam sya’ir-sya’ir mereka, maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk membelanjakan harta pada jalur yang mendekatkan dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Innal mubadzirina kanu ikhwana asy-syathin yaitu mereka (orang-orang yang boros) melakukan perbuatan yang sama seperti syaithan”
Kesimpulan:
Dalam kedua tafsir di atas terdapat persamaan yaitu kata tubadzir tabdziron dalam ayat di tafsirkan sebagai boros, dan boros dalam kedua tafsir ini disebutkan yaitu membelanjakan harta pada jalan yang tidak sesuai syariah. Hanya saja pada tafsir pertama yaitu tafsir Al-Wajiz karangan Dr.Wahbah Zuhaili ada tambahan bahwa selain membelanjakan harta di jalan yang tidak sesuai syariah membelanjkan harta pada sesuatu yang halal pun apabila berlebihan maka itu juga dikatakan boros.
Perbandingan tafsir secara hukum:
Dalam tafsir Al-Jashosh kalimat و لا تبذر تبذيرا pada ayat Al-Isra’ ayat 26 ditafsirkan sebagai berikut:
روى عن ابن مسعود وابن عباس وقتادة رضي الله عنهم قالوا التبذير إنفاق المال في غير  حقه و قال مجاهد لو أنفق مدا في  باطل كان تبذيرا من يري الحجر للتبذير يحتج بهذه الأية إذ كان التبذير منهيا عنه فالواجب على الإمام  منعه منه بالحجر والحيلولة بينه و بين ماله الا بمقدار نفقة مثله و قال أبو حنيفة لا يري الحجر و إن كان من أهل التبذير لأنه من أهل التكليف فهو جائز التصرف على نفسه فيجوز إقراره و بياعاته كما يجوز إقراره بما يوجب الحد و القصاص و ذالك مما أسقطه الشبهة فإقراره وعقوده باالجواز أولى إذ كانت مما لا تسقطه الشبهة و قد بينا ذالك في سورة البقرة عند قوله تعالى {فإن كان الذي عليه سفيها أو ضعيفا }[8]
“Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Qotadah R.hum. mereka berkata Tabdzir (boros) adalah membelanjakan harta di luar haknya, dan Mujahid berkata seandainya seseorang membelanjakan hartanya sebesar satu mud saja pada jalan yang bathil atau tidak benar, maka itu yang dinamakan at-tabdzir (boros), dan orang-orang yang berpendapat hijr[9] berhujjah dengan ayat ini, dikarenakan boros itu dilarang, maka wajib bagi seorang imam untuk mencegah sifat borosnya tersebut dengan hijr dan memisahkan orang tersebut dari hartanya dan disisakan harta yang cukup untuk sekedar nafkah hidup (untuk membinanya dalam mengelola harta). Adapun imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang boros tidak wajib diberi hijr walaupun orang tersebut tergolong orang yang boros  karena orang tersebut adalah seorang mukallaf yang mempunyai hak untuk bertransaksi untuk dirinya, karena kesaksian orang tersebut sah untuk perkara yang akan menyebabkan hukuman hadd atau qishos, padahal hal tersebut yaitu hukuman hadd dan qishosh termasuk perkara yang dapat hilang dengan adanya syubhat, maka apabila orang tersebut membelanjakan hartanya atau menjalankan suatu akad untuk hal yang diperbolehkan atau halal hukumnya pastinya lebih dibolehkan (transaksinya sah), karena transaksi orang tersebut terhadap hartanya tidak jatuh oleh perkara syubhat, dan keterangan ini (Al-Hijr) telah dijelaskan pada tafsir surat Al-Baqoroh pada ayat
 {فإن كان الذي عليه سفيها أو ضعيفا }.”
Dari tafsir di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1.     Menurut suatu riwayat Ibnu mas’ud, Ibnu Abbas, Qotadah, dan Mujahid berpendapat bahwa yang dikatakan boros adalah membelanjakan harta pada jalan yang salah, walaupun hanya seukuran satu mud saja, berarti ukuran boros bukan dari ukuran quantitas harta yang dikeluarkan akan tetapi di mana tempat mengeluarkannya, karena mengeluarkan harta untuk perkara yang salah dianggap sia-sia dan membuang-buang harta.
2.     Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang boros harus dapat pengendalian harta oleh hakim atau imam setempat karena sifat borosnya, dan sifat boros itu dilarang. Cara menghukumnya atau memberi efek jeranya adalah dengan al-hijr yaitu mengendalikan hartanya atau mengatur pengeluarannya, karena orang boros dianggap seperti as-safih[10], dan juga memberi batasan uang untuk kebutuhannya.
3.     Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-hijr tidak perlu diterapkan pada orang yang boros, karena selama orang itu seorang mukallaf, maka orang tersebut mempunyai hak penuh untuk bertransaksi atas hartanya.
Tafsir kedua dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an karangan imam Al-Qurthubi diterangkan sebagai berikut:
{ لا تبذر} أي : لا تسرف في الإنفاق في غير الحق. و قال الشافعي : التبذير: إنفاق المال في غير حقه، ولا تبذير في عمل الخير. وهذا قول الجمهور. و قال أشهاب عن مالك : التبذير : هو أخذ المال من حقه و وضعه في غير حقه، وهو إسراف، وهو حرام،لقوله تعالى: {إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين} . وقوله ((إخوان)) يعني أنهم في حكمهم، إذ المبذر ساع في فساد كالشياطين، أو أنهم يفعلون ما تسوله لهم أنفسهم، أو أنهم يقرنون بهم غدافي النار.
الثانية: من أنفق ماله في الشهوات زائدا على قدرالحاجات و عرضه بذالك للنفاد فهو مبذر، و من أنفق ربح ماله في شهواته وحفظ الأصل أو الرقبة فليس بمبذر، ومن أنفق درهما في حرام فهو مبذر، ويحجر عليه في نفقته الدرهم في الحرام ، ولا يحجر عليه إن بذله في الشهوات الا إذا خيف عليه النفاد.[11]
La tubadzir: atau janganlah kamu boros dalam membelanjakan hartamu pada jalan yang tidak benar. Dan imam Syafi’i berkata: boros adalah membelanjakan harta diluar haknya, dan tidak dikatakan boros dalam perbuatan kebaikan. Dan inilah pendapat mayoritas ulama’. Dan berkata Asyhab dari imam Malik : boros adalah: mengambil harta dari tempat yang benar dan menempatkannya pada tempat yang salah dan itulah yang disebut boros, dan hukumnya haram, dengan dalil firman Allah “sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara syaithan”. Dan maksud dari saudara syaithan adalah karena mereka dihukumi seperti syaithan karena orang yang boros membuat kerusakan sama seperti syaithan, atau karena mereka merugikan diri sendiri, atau bisa juga dikatakan demikian karena orang-orang yang boros akan menjadi pendamping syaithan di neraka.
Dan ada pendapat lain tentang boros yaitu: orang yang membelanjakan hartanya untuk syahwat yang berlebihan dari kebutuhan pokoknya, dan orang itu bermaksudkan untuk menghabiskan harta maka itu yang dinamakan boros, dan barang siapa yang membelanjakan hartanya untuk kepentingan syahwatnya dari kelebihan uangnya akan tetapi tetap menyimpan sebagian untuk kebutuhan pokok maka itu tidak dinamakan boros.
Dan orang yang membelanjakan satu dirham saja untuk perkara yang haram itu dinamakan boros, dan dia dapat diberi al-hijr hanya dikarenakan membelanjakan satu dirham saja untuk sesuatu yang haram, dan tidak dapat di beri al-hijr apabila orang tersebut membelanjakan hartanya untuk syahwatnya kecuali bila ditakutkan hartanya dihabiskan”.
Dari keterangan tafsir di atas dapat di ambil beberapa kesimpulan hukum yaitu:
1.     Menurut imam Syafi’i dan mayoritas ulama’ boros adalah tidak membelanjakan harta pada tempatnya, dan apabila harta tersebut dibelanjakan pada jalan kebaikan maka tidak ada kata boros didalamnya.
2.     Menurut Asyhab dari imam Malik boros adalah mengambil harta dari jalan yang benar dan meletakkannya ke tempat yang salah, dan hukum boros adalah haram.
3.      Ada pendapat lain mengenai boros, dalam pendapat ini yang dikatakan boros adalah:
a)     Membelanjakan harta untuk kepentingan syahwat (keinginan yang halal) dan berlebihan dan berniat untuk menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang. Dalam kasus seperti ini dapat diterapkan padanya al-hijr.
b)     Membelanjakan harta untuk sesuatu yang haram, sesedikit apapun harta yang dikeluarkan maka itu disebut boros. Ini juga dapat diterapkan padanya al-hijr.
c)     Membelanjakan harta untuk kepentingan syahwat dan ditakutkan dia lalai sehingga menghabiskan hartanya.
Dan tidak dikatakan boros apabila:
a)     Membelanjakan harta untuk kepentingan syahwat akan tetapi tidak menghabiskannya atau menghambur-hamburkannya.
b)     Membelanjakan harta untuk suatu kebaikan dan halal.




Kesimpulan:
Dari dua tafsir di atas yang menjelaskan secara hukum tentang boros dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Kedua tafsir sepakat dalam memaknai boros yaitu membelanjakan harta pada perkara haram, dan pada tefsir kedua ada tambahan kalau harta itu diberikan pada jalan yang baik seperti infaq, sedekah, dll. maka tidak ada istilah boros pada kasus seperti ini.
2.     Kedua tafsir menjelaskan bahwa ada perlakuan khusus yang di berikan kepada orang yang boros yaitu al-hijr dan pada tafsir kedua lebih diperinci untuk ketentuan orang yang mendapat pengendalian adalah orang yang membelanjakan harta pada jalan yang haram, kedua orang yang membelanjakan harta untuk sesuatu yang halal tapi dalam kepentingan syahwat dan ditakutkan apabila tidak dicegah dia akan menghabiskan hartanya.
3.     Imam Abu Hanifah tidak setuju diterapkannya al-hijr pada orang boros selama orang itu mukallaf karena dia berhak penuh atas transaksi harta pribadinya.
4.     Kedua tafsir setuju bahwa boros adalah perkara yang haram dan menyerupakan pelakunya sebagai saudara syaithan.




Daftar Pustaka
1.      Imam Fahru Ar-Razi, At-Tafsir Al-Fahru Ar-Razi At-Tafsir Al-Kabir Wa Mafatihu Al-Ghaib, Daar Al-Fikri, 1981.
2.      Allah-swt-melarang-perbuatan-boros-pemborosan-larangan-agama-islam.htm.
3.      K.H.Q Shaleh dan H.A.A Dahlan, Asbabun Nuzul, CV Penerbit Diponegoro, 2000.
4.      Zuhaili Wahbah, At-Tafsir Al-Wajiz, daar al-fikri.
5.      Az-Zajjaj Abu Ishaq Ibrahim bin As-Sarri, Ma’ani Al-Qur’an Wa I’robuhu, Alim Al-Kutub, 1988.
6.      Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jashosh, Ahkamul Qur’an, Beirut Lebanon, 1992.
7.      Abu Abdullah bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, muassasah ar-risalah,2006.



[1] Imam Fahru Ar-Razi, At-Tafsir Al-Fahru Ar-Razi At-Tafsir Al-Kabir Wa Mafatihu Al-Ghaib, Daar Al-Fikri, 1981, jilid 20, hal 195
[2] allah-swt-melarang-perbuatan-boros-pemborosan-larangan-agama-islam.htm
[3] Tanah tersebut diperoleh Rasulullah saw. dari pembagian ghanimah.
[4] K.H.Q Shaleh dan H.A.A Dahlan, Asbabun Nuzul, CV Penerbit Diponegoro, 2000, hal 320
[5] Imam Fahru Ar-Razi, At-Tafsir Al-Fahru Ar-Razi At-Tafsir Al-Kabir Wa Mafatihu Al-Ghaib, Daar Al-Fikri, 1981, jilid 20, hal 194
[6] Zuhaili Wahbah, At-Tafsir Al-Wajiz, daar al-fikri, hal. 285.
[7] Az-Zajjaj Abu Ishaq Ibrahim bin As-Sarri, Ma’ani Al-Qur’an Wa I’robuhu, Alim Al-Kutub, 1988, jilid 3, hal. 285.
[8] Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al-Jashosh, Ahkamul Qur’an, Beirut Lebanon, 1992, jilid 5, hal 22.
[9] Pengendalian harta dari penyalahgunaan harta bagi orang yang dianggap tidak layak untuk bertransaksi. Lihat keterangannya pada jilid 2, hal. 213.
[10] Orang bodoh atau orang yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk bertransaksi. Lihat keterangan pada jilid 2, hal. 213.
[11] Abu Abdullah bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, muassasah ar-risalah,2006, jilid 13, hal. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar